ICJR : Qanun Jinayat Ukubat Cambuk Aceh

Ukubat Cambuk Aceh Tengah | Kabargayo
Pemerintah Indonesia harus mengakhiri hukum cambuk sebagai sebuah bentuk penghukuman dan mencabut atau merevisi ketentuan-ketentuan di dalam Qanun Jinayat (Hukum Pidana Islam di Aceh) yang menyediakan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional dan hukum pidana nasional. Hukum cambuk telah digunakan sebagai penghukuman sebagai bagian dari serangkaian ‘tindak pidana’, termasuk menjual minuman beralkohol (khamar), hubungan seksual konsensual di luar ikatan perkawinan (zina), dan berduaan di dalam suatu tempat tertutup bersama orang lain yang berbeda kelamin di luar ikatan perkawinan (khalwat).

Lima hari yang lalu, tepatnya pada 17 Oktober 2016, di halaman Masjid Baiturrahman, Kampung Kramat, Banda Aceh, Aceh. 13 orang dieksekusi hukum cambuk . Satu terpidana ditunda dieksekusi karena dalam kondisi hamil tiga bulan (namun akan tetap dieksekusi hingga selesai melahirkan). Mereka dihukum karena melakukan khalwat. Peristiwa tersebut melengkapi setahun pelaksanaan qanun Jinayat dan menggambarkan semakin eksesifnya hukuman cambuk di wilayah paling ujung barat Indonesia.

Tanggal 23 Oktober 2016 besok tepat sudah satu tahun pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh, Qanun nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (qanun Jinayat). Peraturan Daerah Aceh yang secara resmi diberlakukan pada Oktober 2015 tahun lalu. Sebelumnya, Pemerintah Aceh dan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) mengesahkan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan efektif berlaku pada 23 Okober 2015.

Dalam aturan tersebut Ada 10 tindak pidana utama (jarimah) yang diatur dalam qanun ini dan yang mencakup 46 jenis tindak pidana baru yang memberikan ancaman pidana cambuk bagi pelakunya.Qanun (setara Peraturan Daerah) ini mengatur perilaku tindak pidana kesusilaan yang sesuai dengan syariat Islam di Aceh. Qanun ini merupakan konsolidasi dari 3 Qanun sebelumnya yang disahkan di di Aceh tahun 2012 dengan penambahan-penambahan yang lebih banyak tindak pidana. Rumusan pidana dalam Qanun ini menduplikasi pegaturan pidana di KUHP dan UU lainnya Indonesia. Ini menimbulkan dualisme penegakan hukum pidana di NAD, Khususnya untuk pasal-pasal kesusilaan yang telah di atur dalam KUHP.

Qanun Jinayat juga melegitimasi penggunaan hukuman badan/tubuh (Corporal Punishmen) di Indonesia, yakni cambuk. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk ini juga masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Hukum cambuk dan bentuk lain penghukuman yang kejam melanggar larangan hukum internasional tentang penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya yang tersedia di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (CAT), yang mana Indonesia merupakan Negara Pihaknya. Pada 2013, Komite HAM PBB yang memonitor kepatuhan negara-negara terhadap kewajiban mereka di bawah ICCPR, menyerukan Indonesia untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang mengesahkan penggunaan penghukuman yang kejam di produk-produk hukum lokal di Aceh. Pada 2008 Komite Anti Penyiksaan PBB juga menyerukan kepada Indonesia untuk mengevaluasi semua produk hukum nasional dan lokal yang mengesahkan penggunaan penghukuman yang kejam sebagai bentuk pemidanaan, dengan pandangan untuk menghapuskan segera bentuk-bentuk penghukuman semacam itu.

Pelaksaanaan Eksekusi Cambuk Sepanjang 2016

Data Badan Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh menyatakan bahwa pada tahun 2013, jumlah kasus yang tercatat sebanyak 428 kasus, Tahun 2014 sebanyak 515 kasus dan tahun 2015 sebanyak 548 kasus. Pada 2015, paling tidak 108 orang dieksekusi hukum cambuk. Hukum cambuk ini secara rutin dilakukan di ruang-ruang publik untuk menarik perhatian banyak orang di mana mereka bisa mengambil foto dan video yang bisa menambah malu dan penderitaan jangka panjang bagi mereka yang dihukum oleh penghukuman yang kejam, menyakitkan, dan merendahkan martabat semacam ini.

Di tahun 2016 Data Monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sepanjang 2016, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 221 putusan perkara jinayat sejak Januari sampai dengan September 2016. (lihat bagan)

Sumber: Monitoring ICJR

Sedangkan 5 besar daerah yang memutus perkara jinayat terbanyak, yaitu :

1. Banda Aceh, sebanyak 40 perkara

2. Kualasimpang, sebanyak 29 perkara

3. Kutacane, sebanyak 24 perkara

4. Blangkejeren dan Jantho, sebanyak 21 perkara

5. Langsa, sebanyak 17 perkara
Sumber: Monitoring ICJR

Dalam Monitoring tersebut ICJR menemukan sedikitnya 180 terpidana telah di eksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh.
Pemberian eksekusi cambuk terberat dilakukan di halaman Masjid Agung Istiqamah Tapaktuan, pada Jumat, 5 Agustus 2016. Ali Imran Bin Abdul Samad warga Desa Sawah Tingkeum, Kecamatan Bakongan Timur telah di eksekusi cambuk sebanyak 125 kali. ia terbukti melakukan Perkosaan berdasarkan putusan Mahkamah Syar`iyah Tapaktuan Nomor : 0004/JN/2016/MSY-TTN tanggal 6 Juni 2016.

Sebelumnya, Hukuman cambuk 100 cambukan yang di berikan kepada tindak pidana zina yakni kepada dua orang warga Kampung Burlah. Mereka Di Eksekusi cambuk Tugu kota Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues pada Tanggal 2 september 2016 masing-masing dicambuk 100 kali. Jugakepada warga Kampung Burlah dan warga Kampung Kemili, Kecamatan Bebesen, mereka terkena eksekusi 100 kali di halaman Gedung Olah Seni (GOS), Kota Takengon pada tanggal 26 Mei 2016. Hukuman cambuk diatas termasuk hukuman paling tinggi selama sejarah penerapan hukuman cambuk di Aceh

Dalam pemberian hukuman cambuk tersebut ICJR juga menemukan pelanggaran, yakni pemberian hukuman cambuk yang diberikan lebih dari putusan pengadilan (kasus Risman), Risman merupakan salah satu dari 38 orang yang dieksekusi cambuk di Masjid Agung Baitul Makmur, Meulaboh, Aceh Barat tanggal 12 februari 2016. Risman divonis lima kali cambukan, namun eksekutor mencambuk sebanyak enam kali.
Dalam kasus Nanda Irwansyah Bin Bachtiar Effendi yang dieksekusi cambuk di Masjid Al-A'la, Gampong Cot Mesjid, Lueng Bata, Banda Aceh pada 19 februari 2016. Pada cambukan pertama, algojo melibas alat cambuk yang terbuat dari rotan itu sehingga mengenai bagian belakang kepala Nanda Irwansyah, bukan bagian punggungnya. Proses cambukan tetap berjalan meskipun terjadi kesalahan pada cambukan pertama.

Hukuman cambuk juga telah menimbulkan luka fisik dan psikis, umumnya terpidana perempuan mengalami kesakitan dan pingsan saat di cambuk. Contohnya dalam kasus Sa. Sa merupakan salah satu dari terpidana ikhtilat atau bermesra-mesraan dalam Qanun Jinayat, ia dicambuk sebanyak 20 kali. Dalam eksekusi cambuk pada 1 Agustus 2016 di Masjid Al Furqan, Gampong Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh ia terluka saat dikenai hukuman cambuk. Prosesi cambuk terhadapnya bahkan dihentikan sementara untuk pemeriksaan medis. Namun ia kembali mendapat cambukan sesuai putusan.

Praktek pemberian hukuman cambuk juga dilakukan kepada warga Aceh yang bukan beragama muslim yakni seorang perempuan bernama Remita Sinaga ia dipidana cambuk pada Tanggal 12 April 2016 di halaman Gedung Olah Seni (GOS) Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Perempuan tersebut dieksekusi hukum cambuk 28 kali karena menjual alkohol, tersebut merupakan warga non-Muslim pertama yang dihukum cambuk di bawah hukum Syariah, yang sebelum Oktober 2015 hanya diterapkan kepada orang-orang Muslim di propinsi Aceh.

Dalam sepanjang pelaksanaan eksekusi cambuk tersebut ICJR juga mendapati pelaksanaannya sarat akan pelanggaran.Penggunaannya yang diskriminatif karena tidak berlaku untuk beberapa orang yang memiliki jabatan. Hukuman cambuk yang di pertontonkan secara umum juga menghasilkan budaya kekerasan di masyarakat Aceh.

ICJR Meminta Pemerintah Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk corporal punishment dalam peraturan perundang-undangannya dalam hal ini menghapuskan hukuman cambuk. Meminta Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah evaluasi terhadap Qanun Jinayat yang secara faktual telah mengakibatkan adanya praktik penyiksaan, perbuatan sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Meminta Pemerintah pusat khususnya Presiden, Kementerian Dalam Negeri, dan Mahkamah Agung untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Qanun Jinayat secara keseluruhan. (rilis)