Bumi Tanpa Asap Rokok?

Aksi teaterikal aktivis pro-demokrasi di depan Kantor Kemenkes RI Jakarta baru-baru ini/dok.FAKTA-Asnil

Jakarta - Indonesia diprediksi akan mengalami masa akhir bonus demografi pada 2030. Sebelum masa itu tiba, Indonesia perlu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.

Pada era bonus demografi tahun 2030, angkatan usia produktif (15-64 tahun) diperkirakan sebanyak 68 persen dari total populasi. Sementara, angkatan tua (di atas 65 tahun) sekitar 66 persen.

Dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas jelang 2030, perlu dilakukan sejumlah upaya, yaitu:

1. Meningkatkan anggaran pendidikan dan angka partisipasi sekolah
2. Meningkatkan kualitas hidup melalui promosi kesehatan
3. Meminimalkan ancaman terhadap generasi muda terkait NAPZA, khususnya zat nikotin
4. Meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui program bantuan pemerintah.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?Happy Inspire Confuse 1Sad
Dalam upaya menggenjot kualitas SDM tersebut, Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada persoalan tingginya jumlah perokok remaja usia sekolah. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, mencatat 9,1 persen perilaku merokok remaja mengalami
kenaikan dibandingkan 2013 yang sebesar 7,2 persen.

Tobacco Atlas merilis data bahwa Indonesia merupakan negara dengan perokok anak terbanyak di dunia. Terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2013, sebanyak 7,2 persen. Naik menjadi 8,8 persen pada 2016. Data Riskesdas 2018 menunjukkan 7,8 juta atau 9,1 persen anak Indonesia merokok.

Bayangkan, untuk menampung 7,8 juta perokok anak diperlukan 101 stadion Gelora Bung Karno!

Bila tidak ada upaya menghentikan perokok anak, angka tersebut diperkirakan akan melejit menjadi 15,95 persen pada 2030 (data Bappenas 2018).

Persoalan perokok usia remaja ini tidak bisa dianggap enteng. Ancaman besar mengintai di balik perilaku merokok remaja. Anak yang sudah mulai merokok di bawah usia 18 tahun berisiko memiliki kesehatan buruk.  Gejala gangguan kesehatan paling 'ringan' yang sering dialami perokok remaja adalah sakit kepala dan sakit punggung.

Seiring perjalanan waktu, jika kebiasaan merokok tidak dihentikan, perokok remaja berpotensi mengidap  kanker paru, penyakit jantung, ginjal, pembuluh darah, gangguan kesehatan reproduksi, masalah tulang dan otot, gangguan paru dan otak.

Perkara rokok ini tak berhenti pada persoalan seputar perokok remaja. Anak yang sejak kecil tumbuh di lingkungan perokok (orang tua atau orang lain di sekitarnya), mengalami pertumbuhan berat badan (rata-rata) lebih ringan 1,5 kilogram dibandingan anak yang tumbuh di lingkungan bebas asap rokok. Pertumbuhan tinggi badan anak perokok juga lebih rendah (rata-rata) 0,34 centimeter.

Bahkan, ada kemungkinan anak perokok mengalami stunting lebih dari 5,5 persen dibandingkan anak bukan perokok. Perilaku merokok orang tua pun memengaruhi tingkat intelegensi anak secara tidak langsung (dampak akibat stunting).

Kondisi stunting ini nyata terjadi di Kabupaten Kupang, NTT. Ditemukan kejadian stunting pada tiga anak (dua kembar usia lima tahun, dan seorang anak berusia setahun) dari empat anak di sebuah rumah tangga.

Penyebabnya, kepala rumah tangga dengan penghasilan terbatas merupakan seorang perokok. Pendapatan yang pas-pasan digunakan untuk membeli rokok. Akibatnya, anak 'dikorbankan' demi rokok . Status gizi anak berada di status sangat pendek, gizi buruk dengan berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan berada di bawah standar.

Terkait bonus demografi yang sempat disinggung di awal tadi, gangguan kesehatan ini tentu akan memengaruhi generasi produktif. Bagaimana bisa negara ini maju dan berkembang jika generasi produktifnya justru sakit-sakitan?


Melihat dampaknya, tentu kita tidak bisa hanya berpangku tangan. Sekretaris Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno menilai, diperlukan rancangan kebijakan yang jelas untuk mengatasi persoalan potensi anak kecanduan rokok.

Ada tiga faktor yang dituding sebagai pemicu perokok remaja. Tiga faktor ini sekaligus bisa dijadikan pemadam kecanduan rokok.

1. Harga Rokok Murah

Murahnya harga rokok turut menjadi penyebab tingginya angka perokok remaja. Dibandingkan Singapura, perbedaan harga rokok bisa empat kali lipat.

Situs pemeringkat Numbeo pada 2016 menyebutkan harga sebungkus rokok Indonesia seperenam dari harga rokok di Singapura. Perbandingan tersebut dilakukan jika menggunakan produk rokok Marlboro. Misalnya, di Indonesia harga rokok Rp20 ribu. Di Singapura bisa Rp80 ribu hingga Rp100 ribu.

2. Memperluas Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 

KTR merupakan ruangan atau area yang dilarang untuk kegiatan merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, atau mempromosikan produk tembakau. Kawasan tersebut meliputi tempat pelayanan kesehatan, tempat proses belajar dan mengajar, tempat anak bermain, tempat beribadah, tempat kerja, angkutan umum, dan tempat publik.

Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan KTR di wilayahnya masing-masing melalui Peraturan Daerah (Perda), maupun Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Hingga Mei 2018, sebanyak 19 provinsi dan 309 kabupaten atau kota di Indonesia telah mengatur KTR baik melalui Perda maupun Perkada.

3. Maraknya Iklan Rokok

Penayangan iklan rokok di berbagai media cukup masii baik media elektronik maupun media luar ruang.

"Indonesia kan negara Asia yang masih memperbolehkan penayangan iklan rokok di televisi. Sementara di negara lain, tidak ada. Belum lagi iklan rokok di luar ruang seperti di baliho-baliho," kata Agus Suyatno, Senin, 29 April 2019.

Mengutip data Remotivi 2015, produk dengan biaya pembelanjaan iklan tertinggi pada media televisi ialah produk rokok. PT Djarum Indonesia tbk mendapat peringkat pertama dalam pembelanjaan iklan di televisi dengan besaran Rp1,05 triliun.

"Di televisi sekarang tren aturannya iklan rokok dibolehkan dari pukul 22.00 hingga 05.00," ucap Agus.

Perihal cerdiknya rokok memengaruhi pola pikir melalui iklan, disebutkan oleh Juru bicara Gerakan Muda (FCTC) Margianta Surahman mengatakan bahwa industri rokok memperdaya kelompok masyarakat anak-anak dengan cara yang sangat subliminal atau lewat bawah sadar, melalui pesan-pesan tersembunyi yang disisipkan pada objek-objek atau media tertentu, biasanya iklan.

Gerakan FCTC Muda merupakan sebuah inisiasi yang digagas sekumpulan anak muda dari berbagai kota di Indonesia. Tujuannya, menggalang dukungan masyarakat agar pemerintah Indonesia segera menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Badan Kesehatan Sedunia (WHO). Dibentuk pada 2003 di WHO dan dihadiri 191 negara anggota badan tersebut, FCTC merespons epidemi tembakau yang jika tidak ditanggulangi akan sangat berdampak buruk pada masyarakat global.

FCTC bertujuan melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi.

Sebanyak 180 negara (90 persen) populasi dunia telah meratifikasi FCTC. Tapi, Indonesia belum.

Apa pentingnya Indonesia meratifikasi FCTC? Mungkin itu menjadi pertanyaan Anda. Dengan meratifikasi FCTC, pembangunan manusia di Indonesia akan lebih optimal dalam mencapai bonus demografi, kebijakan pengendalian konsumsi tembakau akan memiliki standardisasi, dan mempercepat penurunan prevalensi perokok.

Aksesi FCTC dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu menaikkan cukai tembakau (sebagai alat kendali konsumsi, bukan tujuan pendapatan negara), implementasi KTR, pelarangan iklan dan promosi, perluasan peringatan kesehatan bergambar, dan denormalisasi industri rokok.

Tekan Perokok Remaja

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mendorong upaya pemerintah dalam menekan peningkatan perokok remaja. Dia juga mengajak seluruh elemen masyarakat tergerak melindungi anak dan remaja dari paparan rokok.

"Konseksuensinya semua pihak harus melakukan segala upaya, mencegah agar anak tak terpapar rokok karena membahayakan masa depan anak," kata Susanto.

Patut kita sadari bahwa dalam jangka panjang, rokok berdampak sangat buruk bagi anak. Apalagi, Indonesia Indonesia sedang menuju visi Generasi Emas pada 2045. Untuk mewujudkannya, tentu dibutuhkan generasi sehat yang bebas dari pengaruh adiksi rokok. (ROS)

Sumber. Medcom.id