Mas Wendo Berpulang

 Arswendo Atmowiloto/Keuskupanbogor.org
Selamat Jalan Mas Wendo
Setelah hoaks tentang meninggalnya Arswendo Atmowiloto pada sekitar minggu pertama Juli 2019, kematian itu kemudian menjadi fakta pada sebuah jumat sore sekitar pukul 17.50 (19 Juli 2019).

Saat berita duka itu mulai tersebar, banyak yang meragukan dan bertanya: hoaks atau bukan ini? Itu mungkin sebuah keunikan yang menyertai kepergian mas Wendo, meskipun menyedihkan karena berita kematianpun kini bisa menjadi hoaks.

Mas Wendo memang sastrawan dan jurnalis yang unik. Ini fakta sepanjang hidup yang terlihat pada karya-karyanya. Sepanjang hidupnya ia juga sangat produktif dan termasuk salah satu sastrawan yang pernah merasakan pahit-getirnya kehidupan di penjara era Orde Baru saat tabloid Monitor yang dipimpinnya menggelar sebuah survey yang hasil survey itu kemudian membawanya ke penjara. Ia harus bertanggungjawab menanggung hukuman untuk sesuatu yang merupakan pendapat publik.

Bakti untuk disabilitas

Saya mengenal mas Wendo mulai dari sebagai pengagum sampai menjadi murid sekaligus kawan yang saling mendukung dalam berkarya. Ketika mas Wendo mendengar kabar saya mendirikan majalah Diffa pada tahun 2005, sebuah media tentang para penyandang disabilitas, ia segera menawarkan diri untuk membantu. Tentu ini sangat membanggakan dan membahagiakan saya dan teman-teman majalah Diffa. “Ayo kalian kutampilkan di tivi,” serunya. Mas Wendo kemudian menampilkan kami -redaksi majalah diffa- di sebuah acara talkshow TVRI bersama Slamet Rahardjo. Perhatian,bantuan dan dukungan sastrawan dan jurnalis besar itu memicu semangat kawan-kawan Diffa dan juga para penyandang disabilitas yang mengetahuinya. Mereka merasa terhormat. Bahkan tersanjung.

Sebelum majalah diffa, mas Wendo juga mendukung saya dalam program advokasi bagi para petani tembakau yang saat itu resah karena kawatir undang-undang kesehatan akan menyulitkan industri rokok kretek dan kemudian berimbas pada nasib mereka. Kami mengusung tema Indonesia Berdikari dalam berbagai program advokasi tersebut, mulai dari kegiatan community building, rangkaian diskusi, penerbitan buku sampai pementasan monolog Roro Jonggrang yang menampilkan aktor Whani Darmawan. Selain Mas Wendo juga ada Mohamad Sobary dalam program tersebut.

Setelah majalah diffa akhirnya berhenti terbit pada tahun 2010, saya dan mas Wendo kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Kami tetap bertukar kabar meski tidak terlampau sering dan sesekali ngopi untuk ngobrol santai atau bertemu tidak sengaja dalam sebuah acara. Selain itu, setiap kali mas Wendo muncul di acara televisi saat saya sedang tidak di rumah, biasanya, Utami, istri saya, langsung memberi tahu dan saya segera menyempatkan diri untuk menontonnya. Dalam acara-acara talkshow itu, mas Wendo selalu tampil apa adanya dan pendapat-pendapatnya dilontarkan dengan lugas dan jernih.

Memori Warung Apresiasi 

Hidup memang penuh ketakterdugaan. Pada sekitar pertengahan tahun 2017 saya bertemu Mas Wendo dalam sebuah acara yang digelar para seniman Bulungan di Warung Apresiasi. Hadir dalam acara itu selain Mas Wendo ada Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, Roy Marten dan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Dalam kesempatan itu, saya ngobrol panjang dengan mas Wendo, melepas kangen. Dan ternyata majalah diffa masih ditanyakannya. “Opo ora iso terbit meneh?” tanyanya. Saya hanya tertawa haru.

Dan sungguh di luar dugaan, saat mas Wendo tampil berbicara di acara itu, ia tiba-tiba menceritakan tentang saya dan majalah diffa.

“Namanya Rudy Gunawan… Rudy, mana Rudy? Ayo berdiri…”

Saya yang sedang ngobrol agak di belakang panggung langsung kaget mendengar nama saya dipanggil dengan keras oleh banyak teman-teman. Spontan, canggung dan salah tingkah saya kemudian maju dan berdiri di dekat panggung.

Saya mengangguk pada para narasumber. Moeldoko yang didampingi Deputi Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Eko Sulistyo langsung menatap saya. Eko saya lihat dan dengar langsung memberi tahu Moeldoko. “Rudy tenaga ahli di KSP juga, pak. Kedeputian saya,” bisik Eko. Saat itu, Moeldoko tersenyum dan membalas anggukan hormat saya.

Mas Wendo berkata lagi dari atas panggung: “Ya, itu dia orang gilanya yang mau susah payah ngurus disabiltas….” Saya sungguh tak mengira, tersanjung dan merasa sangat terhormat mendapat julukan “orang gila” dari Mas Wendo. Saya benar-benar mau menangis rasanya. Peristiwa itu menjadi tonggak yang menancap sampai jauh ke jiwa saya.

Kesederhanaan jiwa

Peristiwa itu menggambarkan kebesaran sekaligus kesederhanaan jiwa mas Wendo sebagai seorang sastrawan besar yang kini telah pergi meninggalkan kita semua. Selamat jalan, mas Wendo. Beristirahatlah dengan damai bersama jiwa-jiwa besar lain di sisi Tuhan YME.

Jalan Tol Cipali, 19 Juli 2019, 20.33 WIB
FX Rudy Gunawan